Sebuah Refleksi Akhir Tahun: "Cinta,Kemanusiaan, dan Solidaritas: Esensi yang Diuji Waktu"

Filsuf Romawi Cicero dalam karyanya ‘De Officiis’ mendefinisikan humanitas sebagai pengembangan diri melalui pendidikan, seni, dan etika moral dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik. Namun, dalam konteks modern, humanitas tidak hanya mencakup pendidikan formal, melainkan juga tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai empati, solidaritas, dan kasih sayang.

Tahun ini, kemanusiaan kita diuji dalam berbagai aspek. Bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan kebakaran hutan mengingatkan kita akan kerentanan kehidupan. Konflik geopolitik menunjukkan bahwa manusia masih terjebak dalam siklus kekerasan, sementara perubahan iklim menjadi ancaman global yang menguji solidaritas antarnegara. Di tengah tantangan ini, muncul cerita-cerita inspiratif: tim SAR yang bekerja tanpa henti untuk menyelamatkan jiwa, komunitas lokal yang bersatu untuk membantu sesama, serta aksi kecil yang menjadi pengingat bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, adalah refleksi kemanusiaan.

Cinta: Jembatan Antara Diri dan Dunia

Sementara kemanusiaan sering diwujudkan dalam tindakan kolektif, cinta memiliki dimensi yang lebih personal namun universal. Erich Fromm, dalam buku The Art of Loving, mengemukakan bahwa cinta sejati merupakan tindakan aktif, bukan emosi pasif. Cinta meliputi perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, serta pemahaman yang mendalam terhadap orang lain.

Dalam konteks modern, cinta sering kali terdistorsi oleh narasi komersial dan individualistis. Misalnya, arus informasi dapat mengubah cinta menjadi sekadar pencitraan atau validasi eksternal. Namun, tahun ini mengajarkan kita bahwa cinta sejati melampaui semua itu. Cinta dapat kita lihat dalam kesediaan seorang tenaga kesehatan yang merawat pasien meskipun menghadapi risiko tinggi. Cinta juga terdapat dalam keluarga yang saling mendukung di tengah tekanan ekonomi, serta dalam solidaritas global untuk membantu korban bencana atau memperjuangkan keadilan.

Namun, dari setiap ujian kemanusiaan tersebut, terdapat satu hal yang tidak dapat disangkal: solidaritas yang ditemukan kembali dalam masyarakat kita. Dalam berbagai peristiwa bencana dan pandemi, solidaritas kita tidak mengenal batas. Organisasi non-pemerintah, individu, dan bahkan komunitas kecil berkolaborasi untuk memberikan bantuan. Penyaluran bantuan yang cepat dan tepat menjadi bukti nyata dari nilai gotong royong yang tercermin dalam setiap lapisan masyarakat.

Laporan dari Palang Merah Indonesia (PMI) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, lebih dari 5 juta masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam aksi solidaritas, mulai dari pengumpulan dana, distribusi makanan, hingga penyaluran kebutuhan dasar untuk korban bencana. Angka ini mencerminkan semangat solidaritas yang tinggi, yang seharusnya menjadi landasan kita dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Dalam perspektif filsuf sosial seperti Zygmunt Bauman, solidaritas di dunia modern yang penuh ketidakpastian ini semakin relevan. Dalam karya ‘Liquid Modernity’, Bauman membahas sifat cair dari hubungan sosial di era globalisasi, di mana ikatan sosial sering kali rapuh dan transien. Namun, di tengah ketidakstabilan tersebut, solidaritas tetap menjadi fondasi yang kuat. Menurut Bauman, dalam dunia yang semakin individualistik, solidaritas adalah satu-satunya cara untuk menjaga kemanusiaan kita tetap utuh.

Melihat angka-angka ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Indonesia, meskipun dihadapkan pada ujian yang berat, mampu menunjukkan solidaritas yang luar biasa. Dari sudut pandang filosofis, ini mencerminkan bagaimana masyarakat dapat mengatasi tantangan besar melalui kerjasama dan kesadaran kolektif akan nilai kemanusiaan. Solidaritas, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar tindakan fisik, melainkan juga ekspresi dari kesadaran moral yang lebih tinggi.

Kemanusiaan yang Diuji, Solidaritas yang Ditemukan

Tahun 2024 ditandai oleh berbagai peristiwa yang menguji rasa kemanusiaan kita. Menurut data UNHCR, hingga akhir Juni 2024, sekitar 122,6 juta orang di seluruh dunia terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, atau peristiwa yang mengganggu ketertiban umum. Dari jumlah tersebut, hampir 43,7 juta adalah pengungsi yang melintasi perbatasan internasional demi mencari perlindungan.

Di Indonesia, meskipun tantangan global tetap berlanjut, terdapat perkembangan positif dalam penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada Maret 2024 menurun, disokong oleh aktivitas ekonomi domestik yang kuat serta berbagai program bantuan sosial dari pemerintah. Selain itu, Rasio Gini—indikator ketimpangan pengeluaran—turun menjadi 0,379, level terendah dalam satu dekade terakhir.

Cinta: Statistik dan Makna

Cinta sering kali dianggap sulit untuk diukur, namun statistik menunjukkan betapa pentingnya cinta sebagai elemen yang menopang individu dan masyarakat:

1. Hubungan personal :  Penelitian dari Harvard Study of Adult Development yang berlangsung lebih dari 80 tahun menunjukkan bahwa hubungan sosial yang hangat dan penuh kasih adalah faktor utama penentu kebahagiaan dan kesehatan manusia, bahkan lebih dari kekayaan atau ketenaran.

2. Komunitas global : Survei dari World Giving Index  mencatat bahwa lebih dari 55% orang dewasa di dunia pernah membantu orang asing dalam satu tahun terakhir. Ini merupakan bentuk cinta universal yang melampaui batas personal.

Akan tetapi, cinta bukan hanya mengenai hubungan personal. Dalam konteks sosial, cinta dapat menjadi kekuatan kolektif untuk perubahan. Erich Fromm menilai cinta sebagai "keterampilan aktif" yang memerlukan perhatian, tanggung jawab, dan kesadaran. Hal ini terlihat ketika komunitas-komunitas bekerjasama dalam upaya mitigasi bencana, bantuan sosial, atau gerakan advokasi yang memperjuangkan keadilan.

Harapan untuk Tahun Mendatang

Di balik semua data dan refleksi ini, ada satu pertanyaan mendasar: apa yang dapat kita lakukan? Jawabannya tidak selalu harus besar. Kadang-kadang, perubahan dimulai dari tindakan kecil: mendengarkan orang lain dengan tulus, memberikan bantuan kepada tetangga, atau menyumbang untuk tujuan yang kita pedulikan.

Sebagai masyarakat global, kita juga harus bergerak melampaui sekadar simpati menuju aksi nyata. Seperti yang pernah diungkapkan Mahatma Gandhi, "Jalan terbaik untuk menemukan diri Anda adalah dengan kehilangan diri Anda dalam pelayanan kepada orang lain." Di tahun mendatang, mari kita jadikan cinta sebagai pedoman, dan kemanusiaan sebagai kompas.

Statistik mengajarkan bahwa angka mencerminkan realitas, tetapi tindakan kita sebagai individu dan kolektiflah yang memberi makna. Selamat Tahun Baru!

Oleh: Syafiah Basir, Founder Yayasan MariBersinergiSulteng ( Mahasiswi Program Doktoral Ilmu PolitikPascasarjana Universitas Hasanuddin )


أحدث أقدم
Post ADS 1
Post ADS 1